Terlahirnya
Pancasila sebagaimana tercatat dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia,
merupakan sublimasi dan kristalisasi dari pandangan hidup (way of life) dan nilai-nilai
budaya luhur bangsa yang mempersatukan keanekaragaman bangsa
kita menjadi bangsa yang satu, Indonesia.[1] Sebagaimana
yang ditujukan dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1979, maka Pancasila itu adalah jiwa seluruh
rakyat Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia dan dasar negara
kita. Setiap bangsa yang ingin berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas arah
serta tujuan yang ingin dicapainya sangat memerlukan nilai-nilai luhur yang
dijunjung sebagai pandangan/filsafat hidup. Dalam pergaulan hidup terkandung
konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan oleh suatu bangsa,
terkandung pikiran-pikiran yang terdalam dan gagasan sesuatu bangsa mengenai
wujud kehidupan yang dianggap baik. Pada akhirnya pandangan hidup sesuatu
bangsa adalah kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki bangsa itu sendiri,
yang diyakini kebenarannya dan menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk
mewujudkannya menjadi negara yang sejahtera (Wellfare State).
Dengan
demikian, Pancasila sebagai dasar falsafah
Negara Indonesia harus diketahui dan dipahami oleh seluruh
bangsa Indonesia agar menghormati, menghargai, menjaga, dan menjalankan
nilai-nilai serta norma-norma positif yang terkandung dalam sila-sila pancasila
hingga menjadi bangsa yang kuat dalam menghadapi kisruh dalam berbagai aspek
sosial, ekonomi, politik baik nasional maupun internasional seperti yang sedang
kita alami belakangan ini.
Dunia pendidikan pun dalam pengaplikasiannya seharusnya juga mengandung
nilai-nilai positif dari pancasila. Dalam menciptakan generasi penerus yang
kuat dalam menghadapi berbagai kisruh juga diperlukan penerapan pendidikan yang
efektif. Salah satu alternatifnya masyarakat bisa menerapkan model belajar
homeschooling. Meskipun ada yang beranggapan bahwa homeschooling merupakan
penyimpangan dari sila kelima, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia dimana homeschooling hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang kaya,
terjadi kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin. Namun model
pembelajaran seperti ini pada hakikatnya bisa dinikmati oleh siapa saja. Bagi
keluarga yang pas-pasan dan ingin menyekolahkan anaknya dengan model
homeschooling, juga bisa mendapat bantuan dari pemerintah dimana bantuan itu
tidak hanya ada disekolah formal saja.
Homeschooling
adalah salah satu model belajar bagi anak-anak, karena sekolah bukan
satu-satunya tempat belajar anak dan cara anak untuk mempersiapkan masa
depannya. Di dalam sistem pendidikan Indonesia, keberadaanya adalah legal
karena memiliki dasar hukum yang jelas yaitu pada Pasal 27 UU sisidiknas
no.20/2003 ayat 1 dan 2 yang menyatakan bahwa kegiatan pendidikan informal yang
dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara
mandiri. Hasil pendidikan informal/homeschooling diakui sama dengan pendidikan
formal (sekolah negeri dan swasta)
dan nonformal (kursus) setelah peserta ddik lulus ujian sesuai dengan
stadar nasional pendidikan.[2] Sementara itu, menurut data yang dihimpun oleh direktorat pendidikan kesetaraan departemen
pendidikan nasional, ada sekitar 600 peserta homeschooling di
Indonesia.[3]
Salah seorang yang cermat dan kritis menyuarakan penyempurnaan dalam
penyelenggaraan pendidikan khususnya di Amerika pada kurun waktu 90an adalah
john Caldwell holt yang dasar pemikirannya mengandung misi pembebasan dari pihak
orang tua anak mewakili anak sebagai peserta didik yang idealnya dijauhkan dari
cara berpikir instruktif, seperti yang dikembangkan melalui sekolah. Gagasan holt pun bermuara pada bentuk awal penyelenggaraan
pendidikan yang berbasis rumah / homeschooling.[4] Dalam
bukunya yang berjudul How Children Fail yang mengkritisi sekolah trasisional
dimasa itu. Buku tersebut sebagai dasar teori dalam upayanya mengembangkan
gagasannya sebagai guru yang mencermati kegagalan akademik dari pendidikan
dasar disekolah akibat tekanan oleh ortu/guru. Dalam bukunya yang How Children
Learn (1967) juga menunjukkan proses pembelajaran
anak, dimana ia lebih percaya pada prosesnya.
Di Indonesia, benih-benih homeschooling pada dasarnya sudah ada sejak zaman
sebelum kemerdekaan. Contohnya saja K.H Agus Salim yang enggan menyekolahkan
anak-anaknya terpengaruh pikiran dan kebudayaan penjajah. Saat menikahi Zaitun
Nahar pada 1912, K.H Agus Salim meminta istrinya banyak membaca dan berzikir
karena ingin mendidik sendiri anak-anaknya dirumah.[5]
Ide untuk merealisasikan homeschooling pun bergulir dari waktu kewaktu
karena semakin banyaknya kritisi pendidikan formal sekolah dan setelah
terjadi kecenderungan kapitalis pendidikan yang masyarakat beranggapan
secara tidak langsung tidak sedikit oknum pendidik yang menjadikan sekolah
sebagai ajang proyek. Sebagian biaya
operasional yang dibebankan kepada orag tua murid, belum lagi adanya iklim
kompetitif hingga antar sekolah bersaing keras untuk meningkatkan prestasi
menjadi sekolah favorit. Akibatnya orang tua murid
harus menanggung beban berta keuangan. Namun dilain pihak, ada masyarakat yang
menilai homeschooling dilahirkan dari ide-ide konservarif
serta dikhawatirkan akan menjauhkan anak dari kehidupan social. Namun
homeschooling semakin tumbuh dari waktu kewaktu karena para penggagasa dan
praktisinya mampu membuktikan bahwa penyelenggaraan pendidikan melalui bentuk
homeschooling ternyata lebih efektif.
Sebagai sebuah
ide mengenai sikap belajar, homeschooling merupakan pembudayaan. Artinya
homeschooling adalah proses panjang dan pengulangan terus menerus, serta
penanaman kebiasaan positif yang berlangsung selama bertahun-tahun.[6] Belajar dirumah juga lebih menyenangkan karena
jumlah mata pelajaran yang dibebankan kepada peserta didik di sekolah formal
kini sangatlah memberatkan.
Ketika siswa
merasa trauma dengan sekolah umum/formal, dengan beberapa penyebab diantaranya
adanya kekerasan secara mental maupun fisik dan terbebani untuk mempelajari
suatu bidang studi, atau bahkan faktor psikologis si anak tidak bisa mengikuti
standar pendidikan berdasarkan kurikulum, mereka tertekan dan stres bahkan
frustasi karena pelajaran-pelajarannya sangat berat. bukan rasa ingin tahu yang
muncul dalam benak mereka, melainkan setumpuk beban pengetahuan yang harus ia
jejalkan dalam otaknya. Dengan beban seperti itu, mereka enggan dan ogah-ogahan
untuk membaca dan mengembangkan pengetahuannya sendiri, apalagi di sekolah misalnya,
mereka lebih banyak menerima pengetahuan dengan proses satu arah.
Dengan system
belajar homeschooling, seorang anak akan belajar lebih menyenangkan karena
menerima pelajaran dengan rasa ingin tahu dan tidak ada beban dalam
mempelajarinya. Hal ini penting untuk proses berpikir mereka karena akan
terus mengembangkan pengetahuannya tanpa harus dibatasi oleh ruang jenjang
pendidikan dan waktu. Dengan demikian, mereka akan mempunyai kebebasan berpikir
dan berkreasi sesuai dengan bakat dan minat yang mereka kenali dan tekuni.
Kurikulum untuk
program homeschooling dapat diambil dari Departemen Pendidikan Nasional sebagai
bahan rujukan. Orang tua juga dapat mengambil rujukan kurikulum dari mana saja
yang dapat disesuaikan dengan minat anak atau dengan mengkombinasikan beberapa
kurikulum sehingga saling melengkapi. Tetapi, pengembangan dan pendekatannya
diserahkan secara penuh kepada sang pendamping atau sang pembimbing homeschooling.[7]
Untuk pemenuhan
marteri ajar, orangtua dapat menggunakan materi yag sudah dimiliki dari
internet, perpustakaan kota ataupun hasil kreativitas sendiri. Terkadang juga
Banyak orang tua Indonesia yang mempraktekkan homeschooling mengambil materi
pelajaran, bahan ujian dan sertifikat sekolah rumah dari Amerika Serikat.
Sertifikat dari negeri paman Sam itu diakui di Indonesia (Departemen Pendidikan
Nasional) sebagai lulusan sekolah Luar Negeri. [8]Mengenai
jam belajar homeschooling dinilai lebih efektif dalam memenuhi kurikulum dan
materi ajar yang setara dengan pendidikan formal, yaitu 595 – 680 jam/tahun
untuk SD/MI, 816 jam/tahun untuk SMP dan 969 jam/tahun untuk SMA. [9] Hal itu jauh lebih efektif dimana sekolah formal
bisa sampai mencapai 1400 jam/tahun untuk tingkat SMA.
Homeschooling
itu mahal, begitu pandangan orang-orang yang selintas membayangkan
homeschooling. Mungkin sebagian dipengaruhi oleh model homeschooling yang
dilaksanakan para artis yang tinggal pasif dan mengundang guru privat untuk
setiap mata pelajaran. Salah satu poin besar homeschooling dalam soal biaya
pendidikan adalah fleksibilitas, bukan mahal-murah. Orangtua tidak dipaksa
untuk mengeluarkan biaya-biaya pendidikan (gedung, seragam, buku, sarana, dll)
yang sudah ditentukan. Setiap keluarga dapat menjalankannya sesuai dengan
kondisi keuangan seberapapun. Semua biaya yang dikeluarkan betul-betul
tergantung pada kondisi setiap keluarga sehingga setiap keluarga dapat menilai
efektivitas pengeluaran dananya sesuai tujuan yang ditetapkannya. Kepercayaan
masyarakat juga harusnya tetap ditanamkan, bahwa prioritas utama
penyelenggaraan homeschooling bukan pada prestise pembiayaan melainkan pada
komitmen dan kreativitas untuk menjalankan pendidikan alternatif. Bahkan,
dengan biaya minim, homeschooling dapat diselenggarakan dengan tetap bersandar
pada kemandirian, komitmen, dan kreativitas penyelenggara. Jika disekolah ada BOS, di
homeschooling juga bakal memperoleh BOP
(Bantuan Operasional Pendidikan) dengan perincian paket A (SD) untuk perorang
pertahun mendapat bantuan warga belajar Rp. 238.000,- dan bahan ajar Rp. 74.000,-
paket B (SMP) Rp. 260.000,- dan Rp. 80.000,- paket C (SMA) Rp. 285.000,- dan
Rp. 84000,-.[10]
Penyelenggara homeschooling juga tidak perlu khawatir lagi mengenai ijazah,
karena peserta didik juga tetap dapat mengikuti ujian kesetaraan (paket A, B,
dan C) untuk melanjutkan pendidikan ketingkat perguruan tinggi dan pendidikan
reguler yang setara. Oleh karena itu, persekolahan dirumah dapat didaftarkan ke
dinas pendidikan setempat sebagai kemunitas pendidikan informal sehingga
pesertanya kemudian dapat mengikuti ujian nasional kesetaraan.
Dalam hal
terpenuhinya output dari penyelenggaraan pendidikan, homeschooling memiliki
potensi besar untuk mengembangkan keahlian dan ketrampilan anak, mengingat
sifat pendidikan homeschooling yang dapat disesuaikan dan fleksibel sehingga
dapat didesain khusus untuk memenuhi kebutuhan anak.
Di samping
begitu banyaknya keunggulan homeschooling, juga memiliki beberapa kelemahan.
Misalnya saja untuk kembali ke proses pendidikan formal maka anak tersebut
harus mengikuti ujian persamaan pada tingkat tertentu yang tentu saja hal ini
tidak perlu dilakukan dalam pendidikan konvensional, selain itu juga tidak ada
kompetensi untuk bersaing. Tapi keunggulannya yang paling dominan adalah dengan
terbatasnya jumlah peserta didik maka tutor bisa langsung fokus pada potensi
masing-masing anak peserta didik.
Ada beberapa hal yang perlu diluruskan tentang mitos-mitos keliru tentang
homeschooling. Misalnya saja anggapan masyarakat bahwa homeschooler kurang bersosialisasi dan tidak realistis terhadap dunia. Padahal
bersosialisasi berarti berinteraksi dengan individu, tidak harus dengan mereka
yang sebaya saja. Homeschooler berinteraksi dengan siapa saja. Mereka diajar
untuk bisa menempatkan diri di lingkungan mana pun dengan siapa pun dan menjalin
hubungan bukan karena diharuskan tetapi karena kesadaran bahwa hubungan antar
manusia itu memiliki makna. Kemudian anggapan bahwa homeschooling tidak cukup belajar karena tidak meluangkan waktu
sebanyak waktu disekolah. Padahal jumlah waktu tidak menjadi tolak ukur
pembelajaran apalagi kalau jumlah waktu itu ditetapkan sebagai bentuk
pemaksaan. Dan juga persepsi masyarakat bahwa homeschooler tidak mampu
berkompetisi, kenyataannya, kompetisi tidaklah dipandang sebagai usaha
menjatuhkan siapa saja, tetapi lebih kepada usaha melihat kekuatan dan
kelemahan diri sendiri dan orang lain sehingga dengan bekal penerimaan ini anak
sadar akan pentingnya sinergi dengan orang lain. Kompetisi bertaraf
internasional sebagai ajang menilai kemampuan juga bebas diikuti oleh homeschooler. Misalnya saja, Speeling Bee yang beberapa tahun
beruturut-turut dimenangkan oleh homeschooler, yaitu anak-anak yang tidak pernah
“menginjakkan” kakinya disekolah.
[1] http/www. pancasila-sebagai-falsafah-bangsa.html
[2] Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Fokusmedia, Bandung 2003
[6] Abe, Saputra. Rumahku Sekolahku. (Yogyakarta:
GRHA Pustaka, 2007). Hlm.13
[7] Indra Akuntono. Homeschooling itu lebih baik.(dalam
Harian Kompas Edisi Kamis, 22 Agustus 2011)
[8] Sarie Febriane/ Clara Wresti, Rumah Kelasku, Dunia
Sekolahku, Harian Kompas, 13 Maret 2005
[9] Pendidikan Kesetaraan Mencerahkan Anak Bangsa” Direktorat
Pendidikan Kesetaraan, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah, Departemen Pendidikan
Nasional, 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar