Ada sebuah hadits yang mengatakan bahwa:
الِنِّسَاءُ
عِمَادُ الْبِلَادِ, إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْبِلَادُ, وَ إِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ
الْبِلَادُ
“Perempuan
adalah tiang negara, apabila perempuannya baik, maka baiklah negara itu, tapi
bila perempuannya buruk, maka buruk pulalah negara itu.” Hadits tersebut menggambarkan
betapa peran perempuan sangat penting, bahkan dalam kehidupan bernegara.
Perempuan dijadikan tolok ukur baik buruknya suatu negara. Kenapa bisa demikian?
Secara kuantitas, jumlah
perempuan hampir separuh dari total jumlah penduduk dunia. Untuk Indonesia,
menurut hasil sensus BPS tahun 2010, jumlah perempuan adalah sebanyak
118.048.783. Tak terelakkan jika jumlah yang sangat besar ini harus
diimbangi dengan kualitas peran dan kontribusi kaum perempuan secara
signifikan. Secara kualitas, perempuan juga menempati posisi paling strategis
sebagai pencetak generasi bangsa. Suatu generasi unggul pasti terlahir dari
rahim perempuan unggul. Maka kualitas generasi suatu bangsa akan sangat
ditentukan oleh kualitas para perempuannya.
Menurut Charles Malik,
seorang filsuf dan diplomat, cara tercepat mengubah masyarakat adalah dengan
menggerakkan kaum perempuan sedunia. Muhammad Yunus dengan konsep Grameen Bank
dan Grameen Phone-nya mampu membuktikan bahwa jika diberi kesempatan, akses
lebih besar dan dukungan lebih konkrit, kaum perempuan tidak hanya bisa
dipercaya namun sekaligus mampu melakukan perubahan sangat revolusioner yakni
berhasil melawan kemiskinan.
Sayangnya, meskipun perempuan
diyakini dapat membawa perubahan untuk masa depan, mencuatkan potensi dan peran perempuan dalam berbagai
sektor kehidupan bukan persoalan mudah. Budaya dan sistem yang ada dan telah
berlangsung dalam kurun waktu lama telah membelenggu kaum perempuan secara
sistematis sebagai kelompok masyarakat kelas dua atau second class. Hal itu berdampak terhadap pemenuhan hak-hak dasar
kaum perempuan seperti pendidikan dan kesehatan menjadi kurang diperhatikan.
Keadaannya lebih memprihatinkan lagi dalam skala kebutuhan dasar lebih tinggi
seperti akses terhadap informasi dan kesempatan untuk beraktualisasi. Masih
segelintir kaum perempuan yang bisa memperolehnya.
Islam memandang permasalahan perempuan sebagai permasalahan manusia yang satu, bukan kasuistik didasarkan
pada kultur bangsa atau yang lainnya. Maka Islam menyelesaikannya dengan memenuhi
kebutuhan dan naluri manusia sebagai tanpa ada bias gender. Dalam Islam, posisi perempuan adalah
sebagai umm wa rabbatul bait, ibu dan pengatur rumah
tangga. Sebagai seorang ibu, perempuan memegang kewenangan utama dalam
pembentukan karakter generasi sebagai calon-calon pemimpin bangsa. Sedangkan
sebagai pengatur rumah tangga, perempuan memegang kewenangan utama sebagai
pembentuk keluarga sakinah mawaddah wa rahmah, yang akan berefek
pada terbentuknya kondisi sosial negara ideal sebagai modal utama tangguhnya
kekuatan politik dalam suatu negara. Dari dua posisi tersebut, sesungguhnya
Islam sangat memuliakan perempuan dan menempatkan perempuan pada posisi kunci
bangkit atau runtuhnya sebuah negara.
Namun, bagaimanapun juga
solusi Islam tersebut tidak akan bisa solutif jika tidak diemban oleh negara.
Maka di sinilah pentingnya keberadaan negara Khilafah Islamiyah yang
menjalankan sistem politik dan ekonomi Islam sebagai pilar sistem atas semua
sub sistem kehidupan yang lainnya. Untuk mewujudkan negara Khilafah Islamiyah
ini, diperlukan juga partisipasi aktif dari kaum perempuan, dengan bergabung
dalam gerakan yang shahih untuk menerapkan solusi Islam menyeluruh
(kaaffah) pada kehidupan sehari-hari.
Berbicara tentang gerakan perempuan, berarti kita berbicara tahapan kerja atau
tahapan berjuang. Diperlukan kesadaran berorganisasi yang harus ditebarkan ke seluruh perempuan sehingga perjuangan hak-hak yang selama ini diabaikan akan menjadi lebih
terarah dan terprogram. Tanpa organisasi, kehidupan kaum perempuan tetap
berjalan di tempat. Jikapun terjadi perubahan, hanya bersifat sementara dan
tidak mendasar.
Pemenuhan kebutuhan hidup secara
layak dan manusiawi, serta perlindungan hukum tidak akan berjalan, bila tidak
disertai dengan perjuangan melalui organisasi. Dengan cara inilah, kita
merangkul perempuan yang berpikiran dan berkeinginan maju.
Jika
kita pandang dari aspek sosiologis, perempuan
merupakan salah satu entitas dalam sebuah sistem sosial yang kemudian dikenal
dengan sebutan negara. Perlu diingat, bahwa Indonesia merupakan sebuah
negara-bangsa yang lahir karena perjuangan politik. Sehingga, paham tentang
negara sebagai organisasi politik penting disadari sebagai bentuk kesadaran
zaman. Urgensinya, terletak pada kesadaran konstitusional. Bahwasanya,
perempuan memiliki hak dan kewajiban sebagai warga negara. Tidak hanya memahami
diri secara normatif sebagai seorang pekerja domestik, tetapi lebih pada sebuah
kesadaran dan tanggung jawab dalam setiap praktek-praktek sosialnya dalam
konteks apapun. Inilah yang mesti disadari sebagai bentuk kesadaran politik
perempuan.
Patricia Aburdene & John
Naisbitt dalam bukunya Megatrend
for Women : From Liberation to Leadership (1993),
menunjukkan sejumlah data bahwa peran perempuan dalam kepemimpinan semakin
membesar. Semakin banyak wanita yang memasuki bidang politik, sebagai anggota
parlemen, senator, gubernur, menteri, dan berbagai jabatan penting lainnya.
Selain itu semakin banyak wanita yang menjadi pimpinan perusahaan dan sekaligus
menjadi pemilik perusahaan. Sebuah fenomena yang juga mulai banyak dan mudah
dijumpai di Indonesia. Trennya justru meningkat dari waktu ke waktu. Tidak
hanya karena jumlah perempuan di Indonesia sangat banyak, namun semangat
perubahan yang tinggi dan mau bekerja keras untuk berubah seolah telah menjadi
salah satu karakter utama kaum perempuan Indonesia yang tak lekang oleh waktu
sejak dulu hingga kini.
Sebagaimana
yang dilakukan oleh Megawati Soekarno Putri, yang juga berjuang untuk mendorong
masyarakat agar berani membebaskan diri dari rasa takut akibat hegemoni Orba
yang berkolaborasi dengan kekuatan militer. Meskipun bisik-bisik kala itu
mensimplikasi Megawati ”hanyalah seorang ibu rumah tangga”, ternyata gerakan
pembebasan itu semakin mengkristal dan Megawati menjadi ikon perlawanan gerakan
rakyat terhadap kekuasaan yang otoriter. Bagi Megawati, penekanan oleh negara dan
masyarakat justru membuat perempuan semakin kuat. Ini artinya, perempuan secara
umum, memiliki daya survive yang tinggi.
Indikasi kebangkitan peran
perempuan memang semakin nyata dan terus meningkat. Namun, benih-benih
kebangkitan tersebut masih bersifat sporadis. Perlu ada mobilisasi dan pelembagaan
agar potensi perempuan lebih terakomodir. Salah satunya dengan menghidupkan
kembali organisasi, perkumpulan atau komunitas perempuan dalam berbagai bidang.
Baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Dengan bersatunya kaum perempuan dan
segenap potensi yang mereka miliki, maka roda perubahan menuju masyarakat,
bangsa dan negara yang maju dan sejahtera akan bergerak lebih cepat dan lebih
optimal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar