Lidah orang berakal di belakang hatinya dan hati orang bodoh di belakang lidahnya.
Ketahuilah, lidah laksana binatang buas yang suatu saat bisa "membunuh".

Rabu, 09 November 2011

Efektifitas Ma’had (Pesantren) dalam Rangka Membentuk Moralitas Bangsa.


Pergulatan dalam mengarungi kehidupan tentu tidak lepas dari masalah-masalah sosial yang merupakan konsekuensi logis dari hubungan keterkaitan manusia yang melingkupinya. Dimana permasalahan akan terus berkembang dan semakin kompleks sesuai dengan zamannya yang tentu tidak sama antara yang dahulu dengan sekarang.
Perbedaan yang muncul dalam masalah sosial ini  tidak lain memiliki keterkaitan yang sangat dekat dengan nilai-nilai moral dan pranata-pranata sosial, yang diketahui bahwa moralitas sangatlah urgen dalam mempengaruhi dan menentukan arah kesejahteraan, rasa aman sebuah komunitas masyarakat atau bangsa. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Leslie bahwa masalah-masalah sosial adalah suatu kondisi yang mempunyai pengaruh kepada kehidupan manusia sebagaian besar masyarakat sebagai sesuatu yang tidak diinginkan dan tidak disukai.
Berkehidupan layak, serba berkecukupan dari berbagai sisi  kehidupan tentu menjadi idaman bagi seluruh individu dalam suatu komunitas baik besar maupun kecil, baik berupa materi fisik seperti halnya kebutuhan sandang pangan atau nonfisik berupa pergaulan, cara bertingkah laku, dan sebagainya. Moralitas pergaulan dan kebutuhan sosio-ekonomi menjadi ujung tombak dari suatu keniscayaan menuju kebahagiaan yang tercukupi baik kebutuhan yang berupa materi serta rasa aman yang tetap harus terjaga sepanjang real kehidupan yang jauh dari sikap-sikap anarkis dan gaya trend masa kini yang lebih condong pada kerusakan moral.
Moralitas adab ketimuran yang merupakan produk negeri ini adalah kemurnian ajaran nenek moyang yang luhur, yang patut kita lestarikan keberbudayaannya, melihat yang terjadi kini adalah tidak sedikit dari anak bangsa yang tidak mengindahkan keindahan moralitas tersebut baik ditinjau dari sisi agama ataupun adat istiadat.
Melihat fenomena diatas, tentunya kita berupaya bagaimana mencari jalan keluar yang efektif, efisien dan lebih penting lagi bagaimana metode pemecahan tersebut benar-benar memandang bibit persoalan di atas dengan kompleks tidak meninggalkan peran sosialisme yang lain. Tetapi islam lebih memandang konsep perdamaian tanpa bertendensi kepada perbedaan agama, ras, kebudayaan, serta adat istiadat yang terkadang dijadikan sumber konflik. Islam mencoba menampilkan sistem sosial yang memandang masalah moral sangat sentral, untuk itu lewat peran diterapkannya ma’had  sebagi wadah pembentukan karakteristik moral individu dalam kaca mata islam, memberikan kontribusi konsep pemikiran atas gejolak realitas diatas. Ma’had sendiri itu adalah lembaga pendidikan tradisional islam untuk mempelajari, memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari yang  disebut Tafaqquh Fiddin.
Penyelenggara lembaga pendidikan Ma’had berbentuk asrama yang merupakan komunitas tersendiri dibawah pimpinan kyai atau ulama dibantu oleh  beberapa ustadz yang hidup bersama ditengah para santri dengan masjid sebagai pusat kegiatan peribadatan agama, gedung sekolah/perkuliahan  sebagai pusat kegiatan belajar, dan pondok sebagai pusat tempat tinggal para santri. Dalam dunia ma’had, seluruh penghuninya dalam menjalani keseharian berlandaskan nilai-nilai agama islam lengkap dengan norma-norma dan kebiasaannya tersendiri, yang secara eksklusif berbeda dengan masyarakat umum yang mengitarinya.
Ma’had sebagai salah satu lembaga pendidikan agama tentu juga memiliki target yang sama dalam penyelenggaraan pendidikannya. Pembentukan manusia seutuhnya merupakan tujuan pendidikan yang diamanahkan Undang-Undang Pendidikan Nasional, UU sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003  mengamanahkan bahwa fungsi pendidikan adalah kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan adalah untuk berkembanganya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Fungsi dan tujuan pendidikan sebagaimana amanah UU sisdiknas nomor 20 Tahun 2003 merupakan amanah yang harus dijalankan dan dipenuhi oleh lembaga pendidikan di Indonesia, termasuk juga ma’had (pesantren) di dalamnya. Mau tidak mau, ma’had harus dapat menjalankan fungsi dan tujuan pendidikan yang telah diamanatkan undang-undang pendidikan, sebab pesantren telah menjadi bagian dari sistem pendidikan Nasional. Pasal 30 UU sisdiknas menyebutkan bahwa “Pendidikan keagamaan berbetuk pendidikan diniyah, ma’had, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lainnya yang sejenis”. Pada pasal ini terlihat jelas bahwa adanya pengakuan terhadap institusi pesantren sebagai penyelenggara pendidikan keagamaan.
PP Nomor 55 Tahun 2007, merupakan peraturan pemerintah yang lahir untuk memperjelas amanah UU sisdiknas tahun 2003, dalam PP ini juga memperjelas fungsi dan tujuan pesantren sebagai bahagian yang tak terpisahkan dalam sistem pendidikan nasional. Pasal 26 ayat 1, 2 dan 3 PP Nomor 55 Tahun 2007 menjelaskan secara rinci tentang pesantren, dan memberikan legitimasi yuridis terhadap eksistensi pesantren. Dalam ayat 3 pasal ini disebutkan bahwa “Peserta didik dan/atau pendidik di pesantren yang diakui keahliaanya di bidang ilmu agama tetapi tidak memiliki ijazah pendidikan formal dapat menjadi pendidik mata pelajaran/kuliah pendidikan agama di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang memerlukan, setelah uji kompetensi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”
Ajaran agama Islam juga menegaskan, bahwa melaksanakan pendidikan agama adalah merupakan perintah dari Tuhan dan merupakan ibadah kepadaNya. Seperti yang terkandung dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104, yang berbunyi:
“Hendaklah ada diantara kamu, segolongan umat yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh berbuat baik dan mencegah dari perbuatan yang mungkar dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”.
Ayat tersebut memberikan pengertian bahwa Islam menganggap penting sekalipun memerintahkan kepada umat Islam untuk menyampaikan ajarannya/ melaksanakan pendidikan Islam kepada umat manusia sesuai dengan kemampuannya (walupun hanya sedikit). Dengan demikian, seharusnyalah kalau ma’had menjadi lembaga pendidikan Islam dalam merealisasikan perintah tersebut.
Universitas Islam Negeri (UIN) Malang sendiri menjadi salah satu universitas  yang menjalankan sistem pendidikan ma’had yang saat ini dijadikan sebagai landasan awal untuk meneropong moralitas bangsa di masa depan. Moralitas masa depan bangsa menjadi sangat penting untuk diteropong, karena didasarkan pada asumsi awal sebagian pakar yang berpendapat bahwa salah satu faktor penyebab atau “biang keladi” terjadi dan berlangsungnya krisis multidimensional negara Indonesia adalah masalah moralitas bangsa yang sangat "amburadul" dan tidak "karu-karuan".
Ma’had yang dijalankan di UIN Malang juga memandang bahwa keberhasilan pendidikan mahasiswa adalah apabila mereka memiliki identitas sebagai seseorang yang mengetahui ilmu pengetahuan yang luas, penglihatan yang tajam, otak yang cerdas, hati yang lembut dan semangat tinggi karena Allah.  Kegiatan pendidikannya ditargetkan pada kemampuan membangun lingkungan islam yang mampu menumbuhsuburkan moralitas dan intelektualitas yang berakhlakul karimah bagi setiap civitas akademika.
Untuk mewujudkan hal tersebut, salah satunya adalah dibutuhkan keberadaan ma’had yang secara intensif mampu memberikan resonansi dalam mewujudkan lembaga pendidikan tinggi islam yang ilmiah dan religius, sekaligus sebagai bentuk penguatan terhadap pembentukan lulusan yang intelek-profesional dan bermoral akhlakul karimah. Hal ini memberikan sumbangan besar bagi bangsa ini melalui alumninya dalam mengisi pembangunan manusia seutuhnya. Dengan demikian, keberadaan ma’had dalam komunitas perguruan tinggi Islam merupakan keniscayaan yang akan menjadi pilar penting dari bangunan akademik.
Pendirian ma’had dalam lingkup UIN Malang dirasa sangat urgen bagi upaya merealisasikan semua program kerjanya secara integral dan sistematis, sejalan dan sinergis dengan visi dan misi UIN Malang. Dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), ma’had UIN Malang yang diberi nama Ma’had Sunan Ampel al-‘Aly (MSAA) mempunyai beberapa program yang difokuskan untuk pengembangan kompetensi akademik mahasantri. Contohnya Ta’lim al-Afkar al-Islami, Ta’lim al-Qur’an, Khatm al-Qur’an, Shabah al-Lughah.
Disamping itu semua, tentunya tak lepas akan adanya berbagai kontroversi yang mengkritik terhadap keberadaan ma’had MSAA di UIN Malang. Ada yang beranggapan bahwa pendidikan di ma’had merupakan budaya pesantren yang mencetak generasi tidak jelas karena didalam inputnya saja terdapat unsur keterpaksaan dimana mahasiswa harus berada di ma’had selama satu tahun terutama bagi sebagian dari mereka belum pernah merasakan dunia ma’had. Otomatis hal ini menimbulkan tekanan sehingga tak heran jika mereka keluar dari ma’had, akan ada unsur lari dari keterkekangan dan mencari kebebasan hingga melampaui batas dan  melupakan pelajaran apa yang didapat selama setahun di ma’had.
Belum lagi kehidupan di ma’had yang kurang ada batasannya, mahasantri tetap bisa berkecimpung di dunia luar, tetap bisa bergaul bebas dengan siapa saja diluar ma’had. Para mahasantri tidak lagi melaksanakan kewajibannya sebagai seorang santri di sebuah asrama. Mereka menginginkan bisa bebas karena merasa bosan dengan kehidupan asrama. Mereka mulai bertindak  bebas di luar asrama. Sehingga banyak ditemui santri yang jauh dari moral. Padahal ia adalah mahasantri yang setiap harinya mendapat siraman islam.
Begitu juga problematika lain jika kita pandang dari segi psikologi perkembangan remaja seumuran 18-20 tahun, dimana saat itu sering terjadi kondisi yang tidak labil dan kebingunan dalam rangka menemukan identitas dan jatidiri remaja. Kondisi ini diperparah dengan semakin banyaknya tuntutan yang harus mereka hadapi, harus menguasai seluruh materi kuliah dan juga seluruh materi yang diberikan saat di ma’had. Adanya unsur keterpaksaan dalam menjalankan tugas pun tidak bisa dihindari sehingga ilmu yang mereka peroleh tidak bisa dipahami secara maksimal.
Namun dibalik itu semua, realita yang ada mengenai keberadaan ma’had di UIN Maliki Malang ini eksistensinya telah mendapat pengakuan masyarakat bahkan mendapat banyak dukungan positif. Karena inilah jalan yang bisa ditempuh untuk memunculkan nilai-nilai spiritualitas  sehingga makna hidup pun dapat tercapai. Mahasantrinya yang juga merupakan seorang remaja pun akan memiliki esensi untuk melakukan hal-hal yang positif dan meminimalisir bahkan mencegah mereka akan masuknya pergaulan bebas yang sekarang ini semakin gampang menjerumuskan remaja kearah hal yang negatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar