Pendidikan nasional Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur dan
menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas
landasan dan dijiwai oleh filsafat bangsa Indonesia yang diabadikan demi
kepentingan bangsa dan negara Indonesia guna memperlancar mencapai cita-cita
nasional Indonesia.
Dalam upaya memajukan pendidikan nasional Indonesia, tentunya tidak asing
lagi ditelinga kita tentang kebijakan pemerintah mendirikant Sekolah Berstandar
Internasional (SBI) dan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) yang
mekanisme pelaksanaannya di Indonesia sesuai dengan UU pendidikan no.20 tahun 2003 tentang pendidikan nasional.
Sekolah
Bertaraf Internasional (SBI) adalah sekolah yang telah memenuhi 8 standar
nasional pendidikan yang diperkaya dengan standar pendidikan negara OECD
(Organization for Economic Co-operation and Development). Tujuan
penyelenggaraan SBI ini adalah melahirkan lulusan yang punya daya saing yang
kompeten di dunia internasional.[1]
Latar belakang SBI sebenarnya dari sebuah sekolah di Jakarta, yang
tujuannya untuk memfasilitasi keluarga dengan berbasic inggris, keluarga
diplomat luar negeri dan kedutaan asing. Sudah jelas hanya untuk orang yang
memiliki kemampuan biaya lebih untuk pendidikan anak. Namun sejarah dihembuskannya
pelaksanaan SBI dan RSBI mulai diterapkan pada tanggal 6 agustus 2005 yang diadopsi
dari university of Cambridge International Examination. Semua
itu dilakukan untuk mengatasi problematika bangsa, untuk menyesuaikan taraf
pendidikan tingkat Internasional
yang di Indonesia sendiri ini masih jauh.
Pelaksanaan SBI dan RSBI mengacu pada pasal 50 ayat 3 UU tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional yang menyatakan : ”pemerintah dan/atau pemerintah
daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua
jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi sekolah yang bertaraf
internasional.” Selanjutnya dalam pasal 61 ayat 1 PP No. 19 tahun 2005 tentang
standar nasonal pendidikan dinyatakan : “Pemerintah bersama-sama pemerintah
daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu sekolah pada jenjang pendidikan
dasar dan sekurang-kurangnya satu sekolah pada jenjang pendidikan menengah untuk
dikembangkan menjadi sekolah bertaraf internasional. Jadi keputusan
diterapkannya RSBI dan SBI ini sudah ada dan jelas landasan hukumnya.
Realita yang ada, baik itu dari media masa ataupun opini masyarakat
menyatakan bahwa adanya SBI dan RSBI ini hanyalah sebuah bentuk diskriminatif
terhadap masyarakat Indonesia. Yang dalam pelaksanaan terdapat unsur paksaan
mulai dari biaya yang relatif sangat mahal dan juga penggunaan bahasa yang
dipakai yaitu berbahasa Inggris yang tentunya dapat menghilangkan budaya
berbahasa kebangsaan yaitu bahasa Indonesia. Fasilitas dalam sekolah SBI
ataupun RSBI memang tidak diragukan lagi kelengkapannya. Tapi ini yang justru
memerlukan banyak dana sehingga menjadi problematika. Penggunaan dana yang
besar hanya untuk satu sekolah dan perlahan mengabaikan sekolah dengan mutu
pendidikan yang masih rendah dan membutuhkan berbagai fasilitas untuk menunjang
pembelajaran. Secara otomatis terjadi penyimpangan terhadap sila ke-5 pancasila
yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
RSBI dan SBI juga sering terbukti sebagai alat pemeras belaka, sebuah
otorita yang menarik biaya yang tidak realistis. Para orang tua
murid harus membayar mahal kepada manajemen sekolah yang sangat jauh dari
kualifikasi Internasional. SPP mencapai 1,5 hingga 2 juta perbulan. Padahal proyek ini menelan
anggaran pemerintah mencapai Rp.200 juta per sekolah untuk SD, Rp.300 juta per
sekolah untuk SMP, Rp.600 juta per sekolah untuk SMA, Rp.100 juta per sekolah
untuk SMK, dan Rp.1 miliar hingga Rp.2 miliar untuk SMK investasi. Anggaran
tersebut merupakan jumlah bantuan block grant untuk tahun 2010. Anggaran ini
diperuntukkan bagi 1.172 RSBI dan SBI di Indonesia.
RSBI/SBI adalah
proyek pendidikan yang menghancurkan tatanan pendidikan Nasional yang telah
dibangun selama ini. UU No.20 Tahun 2003 adalah UU yang dimasuki pemikiran
asing untuk memahalkan pendidikan Nasional sehingga banyak anak bangsa yang
tidak dapat mengenyam sampai pendidikan tinggi.
Sisi yang paling menonjol dalam SBI dan RSBI adalah segi bahasa, yaitu
menggunakan bahasa asing yang lebih tepatnya bahasa Inggris.[2]
Penerapan bahasa asing ini dianggap telah mengikis tradisi kebudayaan di
Indonesia yaitu meninggalkan bahasa induk. Padahal bahasa Indonesia sudah dipatenkan
dan digunakan sebagai bahasa keseharian Indonesia. Terjadi indoktrinasi dan penyisipan budaya westernisasi, bertentangan dengan isi sumpah pemuda yang
sangat menjunjung tinggi bahasa Indonesia.
Selama pembelajaran dipaksa menggunakan bahasa asing dianggap tidak
rasional. Siswa yang rata-rata dalam fase remaja awal hingga akhir mendapat
tuntutan harus menguasai semua materi pelajaran. Menggunakan bahasa Indonesia
saja masih belum bisa mencapai target kesuksesan yang memuaskan, apalagi dengan
berbahasa Inggris. Hal ini tentunya berdampak pada psikis remaja, dimana terjadi kecemasan
yang berlarut dan mendalam. Mereka akan mengalami haps orientation atau
ketidakberdayaan. Dalam teori behavioristik menyatakan bahwa jika seseorang
sedang dalam perasaan tidak berdaya, maka kesuksesan pun tidak akan tercapai.
Salah satu pengawas pendidikan juga ada yang tidak setuju dengan program
SBI dan RSBI. Indonesia begitu latta, cuma bisa meniru program
pendidikan luar negeri, padahal belum tentu yang ditiru itu baik dan sesuai
dengan kondisi Indonesia. Kebijakan itu menunjukkan
bahwa Pemerintah Indonesia tidak percaya dengan pendidikan nasional yang telah
lama berjalan. RSBI, SBI merupakan komersialisasi pendidikan menengah.
Sebaiknya kelas SBI menjadi swasta saja diluar kelas reguler.
Dapat kita lihat bahwa keinginan dari para kepala sekolah untuk jadi SBI
adalah untuk menghindar dari program BOS karena tingkat pengawasan yang tinggi
sulit untuk korupsi, dalam SBI kepala sekolah dengan gampangnya menentukan uang
sekolah SBI dengan alasan ruang ber AC serta kelengkapan lainnya. Padahal
para gurunya tidak memenuhi kriteria guru Internasional, bahkan para guru masih
belajar Bhs. Inggris dan sibuk buka-buka kamus. Bagaimana mungkin guru SBI
mampu memberikan pengertian materi pelajaran dan begitu juga para siswa akan
sangat sulit memahami pelajaran dalam bhs.Inggris yang kualifikasinya masih
ditertawakan. SBI adalah program gengsi yang pasti akan gagal.
Dalam proses
berjalannya SBI selama 2 tahun ini, akan sangat mempengaruhi degradasi
kualifikasi pendidikan kita. Output yang dihasilkan pun juga masih relatif
biasa saja dengan yang sekolah biasa, bahkan masih lebih baik sekolah pinggiran
yang konsep pembelajarannya sesuai dengan keadaan Indonesia. Itu terbukti yang
berhasil memenangkan kejuaraan olimpiade tingkat internasional kebanyakan dari
sekolah biasa.
Kurikulum yang diterapkan dalam SBI ataupun RSBI adalah mengacu pada negara
yang diadopsi. Seorang pengamat pendidikan internasional, Jack C. Richard
mengatakan bahwa kurikulum merupakan filosofi, tujuan, desain, dan implementasi
suatu program. Saat filosofi, tujuan, dan desain program diimpo, sebutlah
dari Negara A, secara
mentah-mentah yang terjadi adalah filosofi, tujuan dan desain program belumlah
tentu sesuai dengan keadaan di Indonesia. Keadaan Negara A tidak akan pernah sama dengan keadaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia ini. Apa yang membuat kita yakin filosofi itu dapat
mentah-mentah diterapkan untuk anak-anak Indonesia yang sedianya menjadi
generasi penerus kita? Apakah kita sadar, filosofi yang terbentuk akan
mempersiapkan peserta didik kita sebagai manusia-manusia Indonesia yang
semestinya akan berpikir global namun bertindak lokal? Sadarkah kita bahwa
penerapan kurikulum asing sama bahayanya dengan penerapan idiologi asing jika
tak pandai-pandai kita memilah isinya.
Setelah latah
menggunakan kurikulum asing, maka beberapa sekolah menjadi korban mangsa
penerbit internasional yang melakukan gerakan ekspansi ke Indonesia. Sasaran
paling empuk sang penerbit asing adalah sekolah-sekolah yang kebingungan karena
hanya diberi target 2 tahun untuk mempersiapkan diri menjadi Sekolah Bertaraf
Internasional. Langkah gegabah yang diambil, tidak berhenti pada pembelian
kurikulum, tapi memborong buku yang bertuliskan “ berdasarkan kurikulum negara
A” dengan harapan penggunaan buku impor itu melegitimasi label “ Sekolah
Bertaraf Internasional”. Apa yang terjadi? Guru kebingungan karena tak mengerti
“jiwa” buku itu , atau malah jadi pening karena buku itu ternyata menggunakan
bahasa pengantar bahasa asing. Celakalah jika kemampuan guru dalam bahasa asing
benar-benar nol. Bagaimana bisa mengajar dengan buku impor itu? Jikapun ada
guru yang mampu cas-cis-cus berbahasa asing, apakah siswanya siap diajarkan
dengan buku impor? Jika diterangkan suatu konsep dalam bahasa Indonesia saja
siswa masih kesulitan, bagaimana mungkin akan mengerti buku teks yang ditulis
dalam bahasa asing? Jika kesulitan belajar di rumah, apakah orang tua bisa
membantu?
Belum lagi
masalah UUD: ujung-ujungnya duit. Materi impor sama dengan harga impor. Apakah
siswa berkemampuan membayar? Jika tidak, apakah sekolah berhak memaksa? Apa
urgensinya pemakaian buku impor di sekolah katakanlah di lereng bukit suatu
kabupaten? Bersediakah kita mengorbankan kemampuan membayar orang tua siswa
demi suatu gengsi disebut sekolah internasional karena mempergunakan buku dari
Negara A? Bukankah akan terjadi diskriminasi kesempatan dikarenakan kemampuan
membayar?
Apabila kita mengutip dalam al-Qur’an surat
ar-Ra’d ayat 11 yaitu:
Yang artinya : “...sesungguhnya
Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum mereka merubah keadaan mereka
sendiri...”[3]
Ayat tersebut bisa jadi pegangan mengenai kebijakan diadakannya SBI dan
RSBI. Jika ada anggapan bahwa Indonesia adalah negara tertinggal, maka inilah
jawabannya. Konsep SBI menjadi salah satu jalan penyetaraan pendidikan
internasional dan merupakan tuntutan pasar global yang nantinya bisa jadi
solusi apabila kita ingin memperdalam ilmu, tidak perlu jauh-jauh kenegara
lain, tetapi cukup dinegara sendiri yang setara dengan pendidikan luar negeri.
Bahasa asing yang berbeda tidaklah menjadi alasan utama atas kontra
terhadap kebijakan SBI dan RSBI. Banyak pepatah
yang mengatakan bahwa jika kita menguasai bahasa, maka kita bisa
menguasai dunia. Biaya juga bukanlah kendala, buktinya banyak sekolah pinggiran
yang menjadikan SBI sebagai target kedepan, juga masih banyak orang desa yang
berbondong-bondong ingin memasukkan anak meraka ke sekolah SBI. Pemerintah juga
sudah menyiapkan beasiswa bagi anak berprestasi dan kurang mampu. Sistem SBI
sudah sesuai dengan manajemen berbasis sekolah. Sekalipun jika ada
penyelewengan dan otoritas yang tidak sesuai, itu bukan karena sistemnya, tapi
karena human eror. Apabila pelakunya sudah menyeleweng dari tujuan utama,
otomatis akan gagal meskipun sistem pengajaran sudah sesuai dengan konsep SBI.
Pemerintah sendiri juga bukan tanpa sebab dan tapa
landasan hukum dalam merintis sekolah bertaraf internasional. Hal yang menjadi
sebab salah satunya adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia agar
setara dengan negara-negara lain sehingga menghasilkan mutu lulusan yang
memiliki daya saing tinggi di kancah internasional. Semangat pendirian SBI merupakan keinginan kuat bangsa
ini untuk mengejar ketertinggalan kita dengan bangsa lain dalam hal kualitas
sumber daya manusia. Sebagai bangsa kita ingin duduk sama rendah berdiri sama
tinggi dengan bangsa maju lainnnya di dunia. Kita ingin keluar dari kelompok
negara berkembang (negara tidak maju) yang sudah sangat lama disematkan kepada
kita, dan entry point pentingnya adalah dengan terus menerus
meningkatkan kualitas pendidikan kita. Kemunculan SBI kemudian diharapkan bisa
menghasilkan lulusan yang berkelas (berkualitas) nasional dan internasional
sekaligus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar