Lidah orang berakal di belakang hatinya dan hati orang bodoh di belakang lidahnya.
Ketahuilah, lidah laksana binatang buas yang suatu saat bisa "membunuh".

Jumat, 04 Januari 2013

Kita Membutuhkan Pak Hoegeng dan Baharuddin Lopa Yunior

            Ada “joke” menarik yang pernah dilontarkan almarhum presiden Gus Dur. Di Indonesia hanya ada tiga polisi baik, pak Hoegeng, mantan Kapolri, polisi tidur dan patung polisi. Sementara di kejaksaan orang masih mengingat nama besar mantan Kejagung almarhum Baharuddin Lopa. Setidaknya ada  kesamaan menarik antara dua orang pengawal hukum ini (pak Hoegeng dan Baharuddin Lopa); jujur, sederhana, memiliki integritas dan tegas. Indonesia amat membutuhkan profil manusia pengawal hukum sekelas mereka. In memoriam, baik Pak Hoegeng maupun Baharuddin Lopa memiliki kebiasaan, tabiat dalam hidup yang patut diteladani oleh para yunior maupun korpsnya hari ini, setidaknya untuk memberantas krisis hukum yang terjadi.
          Beberapa hari terakhir, publik tentu tidak terlalu terkejut dengan pemberintaan “ada hotel di rumah tahanan”. Pasalnya, beberapa penghuni tahanan diperlakukan diskriminatif dengan memberikan fasilitas dan kesempatan memperoleh hak lebih ketimbang penghuni lainnya. Ketika tim pemberantantasan mafia hukum bentukan presiden SBY berkunjung secara mendadak ke salah satu LP di Jakarta Timur, mereka menemukuan para napi yang berstatus sebagai koruptor dan pengedar narkoba terbukti mendapatkan fasilitas luks berupa ruangan eksklusif dengan fasilitas pendingin ruangan, peralatan karoke, spring bed mewah, ruang rapat direksi perusahaan, pembantu, peralatan pengasuhan bayi, ruang perawatan khusus kesehatan, kebebasan keluar masuk tahanan dan lain sebagainya.
        Perlu dicatat bahwa, apapun yang didapatkan dan diperoleh para napi tentu saja hak mereka sebagai warga negara. Hanya saja, praktek yan terjadi kemudian adalah perlakuan diskriminatif antar napi. Semakin tinggi pengaruh dan kekuasaan yang dimiliki napi, maka fasilitas Lapas pun semakin mudah didapatkan. Demikian sebaliknya. Pengaruh uang dan kekuasaan telah melahirkan mafia hukum dari sipir hingga pejabat berwenang di Departemen Hukum dan HAM. Tidak salah kemudian Departemen yang paling banyak mengirimkan (dijebloskan) Dirjen dan Sekjen serta DIrektur dan Kalapas ke penjara adalah Departemen ini, Departemen yang sesungguhnya harus menjadi garda terdepan dalam memulihkan kewibawaan hukum.
       Cerita tentang perlakukan diskriminatif di dalam lembaga pemasyaraktan (Lapas) tentu bukanlah cerita baru apalagi berubah menjadi cerita heboh. Ini artinya, beberapa fakta yang terjadi di Lapas sesungguhnya telah menjadi warna Lapas itu sendiri. Pertanyaannya kemudian adalah apakah filosofi pembentukan dan penamaan Lapas? Ketika Bung Karno mengeluarkan Kepres tentang Lapas, ada filosofi menarik yang ditemukan-dimana Lapas sesungguhnya adalah tempat pembinaan warga negara dalam sementara waktu untuk kemudian dapat hidup “normal” ketika kembali bergabung dengan masyarakat. Karenanya Lapas didesain sedemikian rupa. Hanya saja hari ini Lapas telah jauh dari filosofi pembentukannya. Lebih dari itu, kompleksitas permasalahan Lapas turut ikut menambah runyam persoalan Lapas. Keterbatasan anggaran serta kurangnya kepedulian pemerintah dalam menata Lapas membuat kondisi Lapas  bermasalah, tidak manusiawi dan tidak layak huni bagi manusia beradab. Persoalan kekuarang ruangan, fasilitas minimal, sesaknya penghuni, praktek mafia para sipir dan pimpinan Lapas, membuat lingkungan Lapas menjadi angker dan dan kejam.
         Kini publik sedang berharap besar khususnya terhadap Menteri Hukum dan Ham, Patrialis Akbar. Harapannya tentu saja agar Patrialis dapat menjadi seperti Pak Hoegeng dan Pak Baharuddin Lopa; tampil sederhana, penuh integritas, jujur, berwibawa dan tegas. Mengadapi para mafia tentu tidak bisa dilakukan dengan cara kerja birokratif dan prosedural. Melawan mafia pun harus menggunakan cara kerja mafia. Selain itu, perlu dilakukan terbosan manajemen misalnya, menata kembali Lapas seperti jumlah bangunan dan standar pelayanan minimal, termasuk penghuni dan manajamen ruangan dan program pembinaan. Hal lainnya, perlu kembali melirik filosofi pembuatan penjara sebagaimana yang telah dilakukan Pemerintah Hindia Belanda. Penjara Suka Miskin Bandung misalnya, dikhususkan untuk tahanan eksekutif (elit politik) dan dibatasi huniannya tidak lebih dari 500 orang (berlaku hingga sekarang). Saat ini, Depkum Ham boleh saja mengajukan misalnya pembentukan Lapas khusus bagi koruptor. Dengan demikian, tidak cukup bagi sang Menteri hanya memecat, mencopot, mindahkan para pejabat Lapas jika terbukti melakukan praktek mafioso. Tindakan holistik seperti disinggung di atas merupakan salah satu langkah kongkrit yang perlu dilakukan dalam kerangka menyelamatkan wajah hukum kita yang terlanjur bopeng.
        Sejauh ini, pemberantasan mafia hukum terus digencarkan dalam segala lini dan di semua institusi. Bahkan agenda kerja  seratus hari kabinet SBY adalah memberantas mafia hukum. Tentu saja yang paling pertama direformasi adalah insitusi hukum seperti kepolisian, kejaksaan, KPK dan kementerian hukum dan HAM. Rakyat terlanjur bosan dengan cerita mafia hukum. Praktek mafia hukum seolah kenyataan yang harus diterima dan dibiasakan. Secara perlahan namun pasti, tak sadar bangsa ini dikerangkeng oleh praktek culas. Sampe kapan kita harus bertahan? Semoga Pak Hoegeng dan Pak Baharuddi Lopa yunior dapat tampil menjadi pionir terdepan. Rakyat rindu perubahan, rakyat butuh keadilan. Republik harus diselamatkan.

Hoegeng Iman Santoso adalah Kapolri di tahun 1968-1971. Ia juga pernah menjadi Kepala Imigrasi (1960), dan juga pernah menjabat sebagai menteri di jajaran kabinet era Soekarno. Kedisiplinan dan kejujuran selalu menjadi simbol Hoegeng dalam menjalankan tugasnya di manapun.salah satu bentuk kejujuran beliau antara lain: Misalnya, ia pernah menolak hadiah rumah dan berbagai isinya saat menjalankan tugas sebagai Kepala Direktorat Reskrim Polda Sumatera Utara tahun 1956. Ketika itu, Hoegeng dan keluarganya lebih memilih tinggal di hotel dan hanya mau pindah ke rumah dinas, jika isinya hanya benar-benar barang inventaris kantor saja.
Semua barang-barang luks pemberian itu akhirnya ditaruh Hoegeng dan anak buahnya di pinggir jalan saja. ” Kami tak tahu dari siapa barang-barang itu, karena kami baru datang dan belum mengenal siapapun,” kata Merry Roeslani, istri Hoegeng.,Saking jujurnya, Hoegeng baru memiliki rumah saat memasuki masa pensiun. Atas kebaikan Kapolri penggantinya, rumah dinas di kawasan Menteng Jakarta pusat pun menjadi milik keluarga Hoegeng. Tentu saja, mereka mengisi rumah itu, setelah seluruh perabot inventaris kantor ia kembalikan semuanya.,Polisi Kelahiran Pekalongan tahun 1921 ini, sangat gigih dalam menjalankan tugas. Ia bahkan kadang menyamar dalam beberapa penyelidikan.
 Kasus-kasus besar yang pernah ia tangani antara lain, kasus pemerkosaan Sum tukang jamu gendong atau dikenal dengan kasus Sum Kuning, yang melibatkan anak pejabat. Ia juga pernah membongkar kasus penyelundupan mobil yang dilakukan Robby Tjahjadi, yang notabene dekat dengan keluarga Cendana. Kasus inilah yang kemudian santer diduga sebagai penyebab pencopotan Hoegeng oleh Soeharto. Hoegeng dipensiunkan oleh Presiden Soeharto pada usia 49 tahun, di saat ia sedang melakukan pembersihan di jajaran kepolisian. Kabar pencopotan itu diterima Hoegeng secara mendadak. Kemudian Hoegeng ditawarkan Soeharto untuk menjadi duta besar di sebuah Negara di Eropa, namun ia menolak. Alasannya karena ia seorang polisi dan bukan politisi. Memasuki masa pensiun Hoegeng menghabiskan waktu dengan menekuni hobinya sejak remaja, yakni bermain musik Hawaiian dan melukis. Lukisan itu lah yang kemudian menjadi sumber Hoegeng untuk membiayai keluarga. Karena harus anda ketahui, pensiunan Hoegeng hingga tahun 2001 hanya sebesar Rp.10.000 saja, itu pun hanya diterima sebesar Rp.7500! sampai akirnya beliau wafat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, Rabu 14 Juli 2004 pukul 00.30. Bagaimana dengan polisi sekarang…..banyak isu untuk naik pangkat harus nyogok, masuk polisi hatus nyogo….k. pecahkan msalah dapat sogokan….jadi becking….orang bilang polisi itu seperti sapu sebagai tukang kebersihan yaitu menegkkan hukum positif dinegeri ini tetapi…sapunya kotor jadi lantai kotor disapu dengan sapu kotor jadi ngak bersih-sersih…..kasus gayus, kasus bibit candra, kasus anggodo……..sungguh memilukan bagi polri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar