Beberapa hari terakhir, publik
tentu tidak terlalu terkejut dengan pemberintaan “ada hotel di rumah
tahanan”. Pasalnya, beberapa penghuni
tahanan diperlakukan diskriminatif dengan memberikan fasilitas dan kesempatan
memperoleh hak lebih ketimbang penghuni lainnya. Ketika tim pemberantantasan
mafia hukum bentukan presiden SBY berkunjung secara mendadak ke salah satu LP
di Jakarta Timur, mereka menemukuan para napi yang berstatus sebagai koruptor
dan pengedar narkoba terbukti mendapatkan fasilitas luks berupa ruangan
eksklusif dengan fasilitas pendingin ruangan, peralatan karoke, spring bed
mewah, ruang rapat direksi perusahaan, pembantu, peralatan pengasuhan bayi,
ruang perawatan khusus kesehatan, kebebasan keluar masuk tahanan dan lain
sebagainya.
Perlu dicatat bahwa, apapun yang
didapatkan dan diperoleh para napi tentu saja hak mereka sebagai warga
negara. Hanya saja, praktek yan terjadi kemudian adalah perlakuan
diskriminatif antar napi. Semakin tinggi pengaruh dan kekuasaan yang dimiliki
napi, maka fasilitas Lapas pun semakin mudah didapatkan. Demikian sebaliknya.
Pengaruh uang dan kekuasaan telah melahirkan mafia hukum dari sipir hingga
pejabat berwenang di Departemen Hukum dan HAM. Tidak salah kemudian
Departemen yang paling banyak mengirimkan (dijebloskan) Dirjen dan Sekjen
serta DIrektur dan Kalapas ke penjara adalah Departemen ini, Departemen yang
sesungguhnya harus menjadi garda terdepan dalam memulihkan kewibawaan hukum.
Cerita tentang perlakukan
diskriminatif di dalam lembaga pemasyaraktan (Lapas) tentu bukanlah cerita
baru apalagi berubah menjadi cerita heboh. Ini artinya, beberapa fakta yang
terjadi di Lapas sesungguhnya telah menjadi warna Lapas itu sendiri.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah filosofi pembentukan dan penamaan Lapas?
Ketika Bung Karno mengeluarkan Kepres tentang Lapas, ada filosofi menarik
yang ditemukan-dimana Lapas sesungguhnya adalah tempat pembinaan warga negara
dalam sementara waktu untuk kemudian dapat hidup “normal” ketika kembali
bergabung dengan masyarakat. Karenanya Lapas didesain sedemikian rupa. Hanya
saja hari ini Lapas telah jauh dari filosofi pembentukannya. Lebih dari itu,
kompleksitas permasalahan Lapas turut ikut menambah runyam persoalan Lapas.
Keterbatasan anggaran serta kurangnya kepedulian pemerintah dalam menata
Lapas membuat kondisi Lapas bermasalah, tidak manusiawi dan tidak layak
huni bagi manusia beradab. Persoalan kekuarang ruangan, fasilitas minimal,
sesaknya penghuni, praktek mafia para sipir dan pimpinan Lapas, membuat
lingkungan Lapas menjadi angker dan dan kejam.
Kini publik sedang berharap besar
khususnya terhadap Menteri Hukum dan Ham, Patrialis Akbar. Harapannya tentu
saja agar Patrialis dapat menjadi seperti Pak Hoegeng dan Pak Baharuddin
Lopa; tampil sederhana, penuh integritas, jujur, berwibawa dan tegas.
Mengadapi para mafia tentu tidak bisa dilakukan dengan cara kerja birokratif
dan prosedural. Melawan mafia pun harus menggunakan cara kerja mafia. Selain
itu, perlu dilakukan terbosan manajemen misalnya, menata kembali Lapas
seperti jumlah bangunan dan standar pelayanan minimal, termasuk penghuni dan
manajamen ruangan dan program pembinaan. Hal lainnya, perlu kembali melirik
filosofi pembuatan penjara sebagaimana yang telah dilakukan Pemerintah Hindia
Belanda. Penjara Suka Miskin Bandung misalnya, dikhususkan untuk tahanan
eksekutif (elit politik) dan dibatasi huniannya tidak lebih dari 500 orang
(berlaku hingga sekarang). Saat ini, Depkum Ham boleh saja mengajukan
misalnya pembentukan Lapas khusus bagi koruptor. Dengan demikian, tidak cukup
bagi sang Menteri hanya memecat, mencopot, mindahkan para pejabat Lapas jika
terbukti melakukan praktek mafioso. Tindakan holistik seperti disinggung di
atas merupakan salah satu langkah kongkrit yang perlu dilakukan dalam
kerangka menyelamatkan wajah hukum kita yang terlanjur bopeng.
Sejauh ini, pemberantasan mafia
hukum terus digencarkan dalam segala lini dan di semua institusi. Bahkan
agenda kerja seratus hari kabinet SBY adalah memberantas mafia hukum.
Tentu saja yang paling pertama direformasi adalah insitusi hukum seperti
kepolisian, kejaksaan, KPK dan kementerian hukum dan HAM. Rakyat terlanjur
bosan dengan cerita mafia hukum. Praktek mafia hukum seolah kenyataan yang
harus diterima dan dibiasakan. Secara perlahan namun pasti, tak sadar bangsa
ini dikerangkeng oleh praktek culas. Sampe kapan kita harus bertahan? Semoga
Pak Hoegeng dan Pak Baharuddi Lopa yunior dapat tampil menjadi pionir
terdepan. Rakyat rindu perubahan, rakyat butuh keadilan. Republik harus
diselamatkan.
|
Hoegeng Iman Santoso adalah Kapolri
di tahun 1968-1971. Ia juga pernah menjadi Kepala Imigrasi (1960), dan juga
pernah menjabat sebagai menteri di jajaran kabinet era Soekarno. Kedisiplinan
dan kejujuran selalu menjadi simbol Hoegeng dalam menjalankan tugasnya di
manapun.salah satu bentuk kejujuran beliau antara lain: Misalnya, ia pernah
menolak hadiah rumah dan berbagai isinya saat menjalankan tugas sebagai Kepala
Direktorat Reskrim Polda Sumatera Utara tahun 1956. Ketika itu, Hoegeng dan
keluarganya lebih memilih tinggal di hotel dan hanya mau pindah ke rumah dinas,
jika isinya hanya benar-benar barang inventaris kantor saja.
Semua barang-barang luks pemberian
itu akhirnya ditaruh Hoegeng dan anak buahnya di pinggir jalan saja. ” Kami tak
tahu dari siapa barang-barang itu, karena kami baru datang dan belum mengenal
siapapun,” kata Merry Roeslani, istri Hoegeng.,Saking jujurnya, Hoegeng baru
memiliki rumah saat memasuki masa pensiun. Atas kebaikan Kapolri penggantinya,
rumah dinas di kawasan Menteng Jakarta pusat pun menjadi milik keluarga
Hoegeng. Tentu saja, mereka mengisi rumah itu, setelah seluruh perabot
inventaris kantor ia kembalikan semuanya.,Polisi Kelahiran Pekalongan tahun
1921 ini, sangat gigih dalam menjalankan tugas. Ia bahkan kadang menyamar dalam
beberapa penyelidikan.
Kasus-kasus besar yang pernah ia tangani
antara lain, kasus pemerkosaan Sum tukang jamu gendong atau dikenal dengan
kasus Sum Kuning, yang melibatkan anak pejabat. Ia juga pernah membongkar kasus
penyelundupan mobil yang dilakukan Robby Tjahjadi, yang notabene dekat dengan
keluarga Cendana. Kasus inilah yang kemudian santer diduga sebagai penyebab
pencopotan Hoegeng oleh Soeharto. Hoegeng dipensiunkan oleh Presiden Soeharto
pada usia 49 tahun, di saat ia sedang melakukan pembersihan di jajaran kepolisian.
Kabar pencopotan itu diterima Hoegeng secara mendadak. Kemudian Hoegeng
ditawarkan Soeharto untuk menjadi duta besar di sebuah Negara di Eropa, namun
ia menolak. Alasannya karena ia seorang polisi dan bukan politisi. Memasuki
masa pensiun Hoegeng menghabiskan waktu dengan menekuni hobinya sejak remaja,
yakni bermain musik Hawaiian dan melukis. Lukisan itu lah yang kemudian menjadi
sumber Hoegeng untuk membiayai keluarga. Karena harus anda ketahui, pensiunan
Hoegeng hingga tahun 2001 hanya sebesar Rp.10.000 saja, itu pun hanya diterima
sebesar Rp.7500! sampai akirnya beliau wafat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Jakarta, Rabu 14 Juli 2004 pukul 00.30. Bagaimana dengan polisi
sekarang…..banyak isu untuk naik pangkat harus nyogok, masuk polisi hatus
nyogo….k. pecahkan msalah dapat sogokan….jadi becking….orang bilang polisi itu
seperti sapu sebagai tukang kebersihan yaitu menegkkan hukum positif dinegeri
ini tetapi…sapunya kotor jadi lantai kotor disapu dengan sapu kotor jadi ngak
bersih-sersih…..kasus gayus, kasus bibit candra, kasus anggodo……..sungguh
memilukan bagi polri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar