Lidah orang berakal di belakang hatinya dan hati orang bodoh di belakang lidahnya.
Ketahuilah, lidah laksana binatang buas yang suatu saat bisa "membunuh".

Minggu, 21 Agustus 2011

Mengistilahkan Nabi Sosial


Mungkin jarang bahkan tidak sama sekali kita dengar, ya karena istilah ini kiranya merupakan frasa (ungkapan) yang membutuhkan kompleksitas pemikiran dalam memaknainya. Hanya orang-orang tertentu yang sering menggunakan kata ini, dan mungkin bagi sebagian orang masih ada yang beranggapan bahwa istilah nabi sosial bermakna ambigu.
Ungkapan nabi (social prophet) sendiri tersusun dari dua unsur kata, “nabi” dan “social. Nabi yang sementara ini dapat kita pahami sebagai utusan tuhan, sedangkan term sosial  yang lebih condong kearah lingkungan masyarakat dan mungkin juga memiliki arti sering memperhatikan kepentingan umum dan suka menolong. Jadi dari sini dapat kita jelaskan bahwa nabi sosial merupakan manusia yang memiliki kesadaran untuk berperan penting dalam menjalankan tugas-tugas sosial dalam rentang kehidupannya. Boleh juga berpendapat bahwa nabi sosial merupakan sebuah sebutan bagi orang-orang yang sangat peduli dengan kondisi orang lain disekitarnya, suka menolong dan lebih mendahulukan kepentingan orang lain dari pada kepentingan diri sendiri.
Jika demikian adanya pengertian yang dapat kita terima, satu pertanyaan yang mungkin selanjutnya, “siapa yang pantas mendapat gelar nabi social?”. Sejenak terlintas sosok ayah yang rela berkorban (jiwa, raga) untuk satu tujuan, menjadikan keluarganya hidup bahagia. Dengan satu hal yang pasti kebahagiaan diatas rezeki halal yang mengalir dalam darah.

Sebuah Kisah
Ilustrasi tentang nabi social dalam pembahasan dimuka, mengingatkan pada satu kisah tentang seorang bapak yang hidup dalam lingkungan jahiliyah, sesat fikir dan moralitas.
Alkisah, terdapat seorang bapak yang yang mengusahakan hak kehidupan atas keluarganya sedapat mungkin dengan menghindari praktek korupsi-kolusi-dan nepotisme. Pada mulanya ia adalah pegawai rendahan di salah satu departemen Negara. Dalam kurun waktu yang singkat pengabdiannya telah mengangkat dia untuk di pindah posisikan ke bagian yang basahn sarat dengan perputaran uang dengan jumlah yang sangat besar. Disinilah kisah itu bermula, seoarng bapak tersebut mendapatkan tempat istimewa yang selalu di idamkan hampir oleh pekerja segolongannya. Ya, ketika semua orang melakukan beragam cara sampai pada menjilat (bermuka manis dihadapan) atasan untuk mendapatkan posisi tersebut, namun si bapak dengan mudahnya mendapatkan jabatan itu.
Betapa tidak, jika bagian tersebut merupakan bagian yang paling banyak memiliki sirkulasi uang dalam jumlah besar dan menjadi besar pula kemungkinan untuk mendapatkan kekayaan dari jalur sirkulasi. Cukup meragukan memang kepastian halal-haramnya cara yang dilakukan, sudah barang tentu di lingkungan departemen Negara, berbicara tentang tata cara pengelolaannya dilakukan berdasarkan Juknis dan undang-undangnya. Menjadi aneh ketika bukan rasa nyaman ketika mendapat posisi istimewa tersebut, sebagai pembanding tuhan sedang mengangkat, menurunkan, atau sedang menguji posisinya, tapi itu tidak penting dalam kisah ini.
Beberapa fakta yang ditemukan, mejadikan dia seolah harus terus menghindar dari lingkungan kerjanya, sampai pada satu titik jenuhnya ia mesti mengajukan diri untuk mutasi ke daerah lain yang dirasa cukup membuatnya nyaman, masih bagian dan tugas yang sama. Ini dipandangnya sebagai suatu hijrah menuju satu kedamaian yang diharapkan. Namun, kondisi yang diharapkan jauh berbeda dan memang mengharuskannya berfikir analogis dimana masih dalam satu departemen dan bagian yang sama, jika itu telah menjadi bagian dari tradisi maka besar kemungkinan didaerah yang berbedapun kenyataan itu aka ada. Logis kiranya. 
Tekad untuk menjaga kesucian niatnya, mengharuskan dia membuat satu lingkungan yang mendukung niat tersebut. Sampai pada satu keputusan setelah sebulan bekerja, kembali ke daerah asal bekerja dan menyampaikan maksud baik kepada atasannya, untuk membentuk mekanisme yang bersih dalam unit kerjanya. Dunia memang seringkali berkata sebaliknya, maksud baik berbuah sindiran pedas (sarcasm), “jika masih berharap akan rejeki dan lingkungan yang demikian pindah dan bekerja saja di popole (pulau kosong-terpencil).
Harapan untuk mendapat dukungan untuk dapat membentuk satu mekanisme kehidupan yang baik berbuah membuatnya tersungkur. Sampai pada satu pilihan terakhir, berprofesi sebagai guru di sekolah berbasis agama (madrasah) dirasa setidaknya lebih menyenangkan dibandingkan yang sebelumnya. Dalam terminology hindu-Jawa, memposisikan diri sebagai Brahmana dan mengajar untuk berdarma dan berderma. Aneh memang, ketika banyak orang berlomba untuk sampai pada tingkat tersebut, si bapak malah memilih untuk posisi yang tidak lagi istimewa menurut kebanyakan.

Korupsi dan Kenabian
Bukan tidak mungkin, tapi hanya ada satu kemungkinan untuk sampai bebas dari penyelewengan (baca-kkn) karena ini adalah satu fakta setiap jaman dan terus akan berulang. Sebut saja seorang mahasiswa aktifis (kampus), selama mahasiswa menjadi pegiat berbagai bentuk anti penyelewengan namun kebanyakan harus berbalik ketika memasuki dunia kerja yang memiliki kultur korup-tif. Ini terjadi, ditambah dukungan istri yang konsumtif, anak yang ber-trend artis. Pendidikan karakter mungkin perlu, tinggal bagaimana simulasinya.
Seorang nabi, kadang memang mesti terasing meskipun pada awalnya ia dielukan. Para nabi adalah orang memulai sesuatu dan memiliki dunianya sendiri, gila, tidak waras. Bukannya ini juga terjadi pada Muhammad (the prophet). Menjadi penting mengakui bahwa konstruk ketidakwarasan public sebagai satu kewarasan yang dapat dibanggakan. Seberapa yakin akan kebenaran yang dibawa adalah terletak pada seberapa besar kebenaran itu diperjuangkan bahkan tampa pengikut. Muhammad (the prophet) telah melakukan itu dengan kata “bahkan jika matahari dan rembulan berada ditangannya, ia tidak akan menghentikan kebenaran yang di yakininya”.
Muhammad, dialah sang nabi dan generasi dari nabi-nabi sebelumnya. Membawa risalah yang sama, “gerakan pembebasan” dan menuju “kemuliaan perilaku”.

Generasi pasca-Muhammad masih sebagai Nabi
Sejatinya, memang pada jaman ini sudah sangat dibutuhkan sosok nabi yang membuka tempurung, dimana diri didalam tempurung telah menjadi sangat istimewa dan menjadikan terasing mereka yang berada bebas diluar tempurung. Kisah sosok bapak diatas, kiranya harus menginspirasi, berlaku sesuai dengan yang di amanatkan sebagai manusia, wakil tuhan dibumi dan juga menyampaikan risalah al-hasanah. Demikian gerakan kenabian, siap untuk menjadi terasing dan melakukan perubahan dari lini masing-masing dan bertemu, terakumulasi pada jaman yang tepat, itulah agama.
Sehingga menjadi lebih menarik tema ini, jika membuka buku berjudul “Gagalnya Peran Politik Kiai dalam Mengatasi Krisis Multidimensional” oleh Heri Kuswanto yang sedikit membahas tentang sosok nabi social. Dalam terminology ali Syari’ati, para kiai adalah nabi social yang mencerap jalan para nabi. Nabi tidak hanya berkhotbah dimimbar-mimbar majelis tetapi juga melakukan aksi praktis dengan gerakan social dan politik. Tanggung jawab seorang kiai dan tokoh agama tak ubahnya adalah tanggung jawab seorang nabi dalam lingkungan sosialnya, membawa satu risalah “menyempurnakan perilaku”. Merekalan penjaga kuasa moral.

Renungan
1.     Umar bin Khattab, pemimpin yang memberikan beras atas orang yang lapar dalam kegelapan
2.     Umar bin Abdul Aziz, lampu kamar dinasnya hanya untuk kepentingan pelayanan
3.   Sidharta Gaotama, Putra mahkota yang meninggalkan gemerlap istana untuk memaknai kehidupan   “dharma”
4.     al-Masih, putra maryam yang berbicara tentang kasih-sayang
5.     dan masih banyak lagi sosok tersebut diatas disekeliling kita, dan hanya ada satu dalam fikiranku, “kamu yang telah membaca ini”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar