Judul Buku : Berguru pada Realitas
Penulis : KH.Salahuddin Wahid
Penerbit : UIN-Maliki Press
Cetakan : I, 2011
Tebal : xvii + 483 hlm
Peresensi : Finayatul Maula*
Indonesia
adalah negara religius, yaitu manusia yang bertuhan. Buktinya setiap tahun
jumlah orang yang pergi haji dari Indonesia adalah yang terbanyak sedunia.
Jumlah yang pergi umrah juga banyak. Rumah ibadah bertambah terus setiap tahun.
Suasana ramadhan selalu semarak dengan aktivitas keagamaan.
Tetapi
jika kita melihat kenyataan bahwa Indonesia adalah negara yang termasuk
tertinggi prestasinya dalam korupsi. Indeks persepsi korupsi yang dikeluarkan
Transparansi Internasional Indonesia tahun 2007 lebih buruk dibanding tahun
2006, dan termasuk yang terjelek di dunia. Korupsi itu akhirnya membuat anak
bangsa hidup miskin ditengah sumber daya alam yang kaya raya. Itulah satu dari
sekian paradoks bangsa kita.
Beberapa
contoh diatas menunjukkan bahwa kesan religius di dalam masyarakat kita, yang
ditunjukkan oleh ibadah ritual, ternyata berlawanan dengan kesan yang
ditunjukkan oleh perilaku di dalam kehidupan sehari-hari. Tampaknya kita tengah
menghadapi fenomena spiritual tanpa spiritualitas. Kejujuran sudah menjadi
barang langka di dalam masyarakat kita. Padahal kejujuran merupakan unsur utama
dalam karakter. Kejujuran adalah dasar bagi seluruh kehidupan, di mana
kejujuran menjadi prasyarat utama bagi pertumbuhan dan perkembangan masyarakat,
yang berlandaskan prinsip saling percaya, kasih sayang dan tolong menolong.
Adalah
buku “Berguru pada realitas” yang berusaha meraba-raba dengan menghubungkan
nilai-nilai agama dan kehidupan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penulis mencoba mengangkat isu-isu keberagaman konflik baik agama, politik dan
pendidikan di Indonesia yang saat ini dirasa butuh perubahan untuk memperbaiki
bangsa.
Menurut
KH. Salahuddin Wahid selaku penulis berpendapat bahwa keberhasilan Indonesia
melewati rintangan menuju kemandirian di masa-masa awal berdirinya Republik
yang saat itu jauh dari korupsi adalah karena para pemimpin masa lalu itu
umumnya memiliki integritas, yaitu karakter, etika, dan moral. Pemimpin masa
lalu hidup sederhana, terus terang, setia, kritis, penuh tanggung jawab, dan
tidak memanfaatkan jabatannya. Jika dibandingkan dengan pemimpin Orde Baru dan
masa kini yang kebanyakan memanfaatkan jabatan, maka sifat-sifat demikian ini
jarang kita temukan atau bisa dikatakan tidak ada lagi dalam diri para pemimpin
saat ini.
Dalam
rangka menciptakan generasi penerus yang diharapkan mampu menjadi calon
pemimpin yang bermartabat, perlu diterapkan sebuah bentuk pendidikan yang
ideal, yaitu pedidikan yang bisa mencetak generasi cerdas, pintar dan mengerti,
yang menyadari tanggungjawabnya sebagai bagian dari masyarakat bangsa. Oleh
karena itu perlu ditingkatkan berbagai upaya perbaikan pada level pembentukan
jiwa dengan akhlak yang mulia. Pendidikan karakter yang sedang hangat
dibicarakan saat ini merupakan bagian dari upaya tersebut. Pendidikan karakter
itu akan lebih efektif dan memiliki efek kejiwaan yang kuat bila disertai
dengan contoh nyata dalam sikap hidup keseharian.
Dalam
pemikiran tokoh yang bernama kecil Salahuhuddin al-Ayyubi ini mengungkapkan
bahwa dunia pendidikan karakter Indonesia diantaranya termasuk pesantren
menghadapi tantangan yang serius dan berat dalam rangka ikut menjaga masa depan
bagsa dan negara. Apalagi Indonesia adalah negara dengan umat Islam terbesar di
dunia. Saat ini umat Islam adalah umat yang paling tertinggal di dalam
kehidupan antar bangsa. Tantangan yang harus dihadapi itu spektrumnya amat
luas, sehingga membutuhkan kerja keras yang sinergis antara semua pihak.
Di
negeri yang dikenal dengan berbagai kekayaan sumber daya alam dan budaya ini,
pernyataan yang mengindikasi adanya pertentangan antara pendidikan agama (ukhrawi)
dan pendidikan non agama (duniawi) masih sering kita dengar. Oleh karena
itu, perlu ditingkatkan upaya untuk memberi penyadaran bahwa semua ilmu perlu
dikuasai, kalau kita betul-betul menginginkan umat islam, lebih-lebih generasi
muda tidak tertinggal.
Buku
yang dihadapan pembaca ini merupakan kumpulan percikan pemikiran KH. Salahuddin
Wahid dari berbagai media masa, di samping yang berasal dari tulisan untuk
keperluan seminar dan ceramah.
Pada
dasarnya, semua tulisannya sampai sekarang ini bernuansa keagamaan, namun untuk
mempermudah, perlu diklasifikasikan dalam beberapa sub. Sub-sub tersebut
meliputi: 1. Tuhan dalam Realitas Keberagaman, 2. Etika Sosial Islami, 3.
Pendidikan dan Dunia Pesantren, 4. Oase Ramadon, 5. Agama, Negara, dan Budaya
dengan bahasan; hubungan Agama dan Negara, Dinamika Keberagaman, dan Mengukur
Kesetiaan Berbangsa, dan 6. Organisasi, Kepemimpin, dan Manajemen. Pada sub
terakhir ini ada beberapa bagian, yaitu; Prinsip dan Etika Kepemimpinan,
Dinamika Kepemimpinan Nasional, dan Kaum Muda dan Urgensi Kaderisasi.
Karena
terbatasnya ruang, tidak semua tulisan Beliau dimuat di buku ini,
Artikel-artikel yang berbicara masalah rekonsiliasi nasional berkenaan dengan
korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada keluarga atau keturunan orang
yang tertuduh terlibat dalam gerakan PKI “terpaksa” tidak bisa diikutsertakan.
Meskipun demikian, dengan membaca beberapa tulisan pada buku ini, pasti akan
didapatkan pemahaman mengenai konstruksi besar pemikirannya yang merupakan
ekspresi sederhana dari rasa tanggungjawabnya membangun kehidupan umat menuju
kehidupan yang luhur dan beradap. Semoga kita bisa terus belajar, seperti
Beliau, yang masih juga menuntut dirinya sendiri untuk terus belajar.
Buku
ini lantas bagaikan menyusun puzzle kehidupan masyarakat Indonesia yang
tercecer dalam pergumulan sosial dan politik yang tidak berlandaskan
nilai-nilai agama, sehingga terbentuk sebuah gambar yang jelas “menuju
Indonesia yang bermartabat”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar