Lidah orang berakal di belakang hatinya dan hati orang bodoh di belakang lidahnya.
Ketahuilah, lidah laksana binatang buas yang suatu saat bisa "membunuh".

Kamis, 03 Januari 2013

MENUJU INDONESIA YANG BERMARTABAT


Judul Buku : Berguru pada Realitas
Penulis : KH.Salahuddin Wahid
Penerbit : UIN-Maliki Press
Cetakan : I, 2011
Tebal : xvii + 483 hlm
Peresensi : Finayatul Maula*


Indonesia adalah negara religius, yaitu manusia yang bertuhan. Buktinya setiap tahun jumlah orang yang pergi haji dari Indonesia adalah yang terbanyak sedunia. Jumlah yang pergi umrah juga banyak. Rumah ibadah bertambah terus setiap tahun. Suasana ramadhan selalu semarak dengan aktivitas keagamaan.

Tetapi jika kita melihat kenyataan bahwa Indonesia adalah negara yang termasuk tertinggi prestasinya dalam korupsi. Indeks persepsi korupsi yang dikeluarkan Transparansi Internasional Indonesia tahun 2007 lebih buruk dibanding tahun 2006, dan termasuk yang terjelek di dunia. Korupsi itu akhirnya membuat anak bangsa hidup miskin ditengah sumber daya alam yang kaya raya. Itulah satu dari sekian paradoks bangsa kita.

Beberapa contoh diatas menunjukkan bahwa kesan religius di dalam masyarakat kita, yang ditunjukkan oleh ibadah ritual, ternyata berlawanan dengan kesan yang ditunjukkan oleh perilaku di dalam kehidupan sehari-hari. Tampaknya kita tengah menghadapi fenomena spiritual tanpa spiritualitas. Kejujuran sudah menjadi barang langka di dalam masyarakat kita. Padahal kejujuran merupakan unsur utama dalam karakter. Kejujuran adalah dasar bagi seluruh kehidupan, di mana kejujuran menjadi prasyarat utama bagi pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, yang berlandaskan prinsip saling percaya, kasih sayang dan tolong menolong.

Adalah buku “Berguru pada realitas” yang berusaha meraba-raba dengan menghubungkan nilai-nilai agama dan kehidupan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penulis mencoba mengangkat isu-isu keberagaman konflik baik agama, politik dan pendidikan di Indonesia yang saat ini dirasa butuh perubahan untuk memperbaiki bangsa.

Menurut KH. Salahuddin Wahid selaku penulis berpendapat bahwa keberhasilan Indonesia melewati rintangan menuju kemandirian di masa-masa awal berdirinya Republik yang saat itu jauh dari korupsi adalah karena para pemimpin masa lalu itu umumnya memiliki integritas, yaitu karakter, etika, dan moral. Pemimpin masa lalu hidup sederhana, terus terang, setia, kritis, penuh tanggung jawab, dan tidak memanfaatkan jabatannya. Jika dibandingkan dengan pemimpin Orde Baru dan masa kini yang kebanyakan memanfaatkan jabatan, maka sifat-sifat demikian ini jarang kita temukan atau bisa dikatakan tidak ada lagi dalam diri para pemimpin saat ini.

Dalam rangka menciptakan generasi penerus yang diharapkan mampu menjadi calon pemimpin yang bermartabat, perlu diterapkan sebuah bentuk pendidikan yang ideal, yaitu pedidikan yang bisa mencetak generasi cerdas, pintar dan mengerti, yang menyadari tanggungjawabnya sebagai bagian dari masyarakat bangsa. Oleh karena itu perlu ditingkatkan berbagai upaya perbaikan pada level pembentukan jiwa dengan akhlak yang mulia. Pendidikan karakter yang sedang hangat dibicarakan saat ini merupakan bagian dari upaya tersebut. Pendidikan karakter itu akan lebih efektif dan memiliki efek kejiwaan yang kuat bila disertai dengan contoh nyata dalam sikap hidup keseharian.

Dalam pemikiran tokoh yang bernama kecil Salahuhuddin al-Ayyubi ini mengungkapkan bahwa dunia pendidikan karakter Indonesia diantaranya termasuk pesantren menghadapi tantangan yang serius dan berat dalam rangka ikut menjaga masa depan bagsa dan negara. Apalagi Indonesia adalah negara dengan umat Islam terbesar di dunia. Saat ini umat Islam adalah umat yang paling tertinggal di dalam kehidupan antar bangsa. Tantangan yang harus dihadapi itu spektrumnya amat luas, sehingga membutuhkan kerja keras yang sinergis antara semua pihak.

Di negeri yang dikenal dengan berbagai kekayaan sumber daya alam dan budaya ini, pernyataan yang mengindikasi adanya pertentangan antara pendidikan agama (ukhrawi) dan pendidikan non agama (duniawi) masih sering kita dengar. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan upaya untuk memberi penyadaran bahwa semua ilmu perlu dikuasai, kalau kita betul-betul menginginkan umat islam, lebih-lebih generasi muda tidak tertinggal.

Buku yang dihadapan pembaca ini merupakan kumpulan percikan pemikiran KH. Salahuddin Wahid dari berbagai media masa, di samping yang berasal dari tulisan untuk keperluan seminar dan ceramah.

Pada dasarnya, semua tulisannya sampai sekarang ini bernuansa keagamaan, namun untuk mempermudah, perlu diklasifikasikan dalam beberapa sub. Sub-sub tersebut meliputi: 1. Tuhan dalam Realitas Keberagaman, 2. Etika Sosial Islami, 3. Pendidikan dan Dunia Pesantren, 4. Oase Ramadon, 5. Agama, Negara, dan Budaya dengan bahasan; hubungan Agama dan Negara, Dinamika Keberagaman, dan Mengukur Kesetiaan Berbangsa, dan 6. Organisasi, Kepemimpin, dan Manajemen. Pada sub terakhir ini ada beberapa bagian, yaitu; Prinsip dan Etika Kepemimpinan, Dinamika Kepemimpinan Nasional, dan Kaum Muda dan Urgensi Kaderisasi.

Karena terbatasnya ruang, tidak semua tulisan Beliau dimuat di buku ini, Artikel-artikel yang berbicara masalah rekonsiliasi nasional berkenaan dengan korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada keluarga atau keturunan orang yang tertuduh terlibat dalam gerakan PKI “terpaksa” tidak bisa diikutsertakan. Meskipun demikian, dengan membaca beberapa tulisan pada buku ini, pasti akan didapatkan pemahaman mengenai konstruksi besar pemikirannya yang merupakan ekspresi sederhana dari rasa tanggungjawabnya membangun kehidupan umat menuju kehidupan yang luhur dan beradap. Semoga kita bisa terus belajar, seperti Beliau, yang masih juga menuntut dirinya sendiri untuk terus belajar.

Buku ini lantas bagaikan menyusun puzzle kehidupan masyarakat Indonesia yang tercecer dalam pergumulan sosial dan politik yang tidak berlandaskan nilai-nilai agama, sehingga terbentuk sebuah gambar yang jelas “menuju Indonesia yang bermartabat”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar